Mendanai Proyek Free Software

Bismillahirrahmanirrahim.

Sebuah topik singkat yang berat. Sebuah free software bebas dikembangkan, seringkali bebas harga, tetapi tidak pernah bebas biaya pengembangan. Sedangkan masyarakat membutuhkan free software. Kita tidak bisa njagakno (Jawa: menyandarkan diri tanpa usaha) orang lain terus menerus. Kita harus selalu siap, bahkan sebelum proyek itu ada. Seperti kasus Kubuntu. Maka jadilah orang yang mampu mendanai proyek free software. Minimal skala diri sendiri. Memang berat dikata, tapi apa daya.

Kesulitan-Kesulitan Pemula Linux

Bismillahirrahmanirrahim.

Pemula di Linux, mayoritasnya adalah pengguna Windows. Jika diterima kaidah “sesuatu yang jarang tidak dianggap ada” semuanya adalah pengguna Windows. Dari sini muncul kesulitan-kesulitan menggunakan Linux. Saya sudah sering membahas yang seperti ini tetapi sekarang saya bahas kembali dalam format lebih ringkas. Tidak lain untuk membantu pemula mengenali kesulitannya sendiri. Sehingga bisa dicari apa solusinya. Tidak ngawur seperti banyak orang, tidak tahu masalah tapi nuntut solusi.

1. Kekacauan

Seperti dikata orang dari luar Linux apalagi pengguna BSD, platform Linux itu chaos (kekacauan). Kacau karena satu sisi, satu platform Linux dikembangkan oleh pihak yang berbeda-beda. Lain dengan Microsoft Windows dan Apple Mac OS X, bahkan BSD sekalipun. Baik Windows atau OS X, segala komponen internal sistem operasinya dibuat oleh satu pihak. Antarmuka grafisnya juga dibuat oleh satu pihak. Dengan kata lain, kernel, library, shell, dan antarmuka grafis Windows dibuat oleh Microsoft. Hal yang sama berlaku untuk Mac OS X dan Apple. BSD, setidaknya base system-nya dikembangkan oleh satu pihak di satu tempat terpusat yakni para developer BSD. Linux disebut “kacau” karena untuk bisa disebut OS sebagaimana Microsoft Windows, Apple Mac OS X, bahkan BSD, dia harus ditambah komponen buatan pihak luar seperti GNU, KDE, GNOME, dan sebagainya. Pihak yang menggabung komponen-komponen terpisah itu juga ada sendiri dengan nama lengkap “developer distribusi GNU/Linux”. Dengan kata lain, Linux (kernel) dibuat oleh satu pihak, sedangkan banyak library, antarmuka grafis, utilitas, dibuat oleh pihak lain. Dengan kata lain lagi, satu keseluruhan OS Linux tidak dikembangkan oleh satu pihak secara terpusat. Hal ini berkonsekuensi pada kesulitan pengguna akhir hanya untuk menyebut namanya saja. Mau sebut apa? Linux? Linux itu kernel. Ubuntu? Ubuntu itu distro GNU/Linux. GNU? Apa itu GNU? Begitulah kiranya kesulitan pengguna akhir. Kesulitan tidak berhenti di sini. Karena poin ini, pengguna akhir akan menemukan kesulitan spesifik seperti jumlah tahap/lapisan pemahaman yang lebih banyak untuk satu hal yang sama di OS lain. Kekacauan makin menjadi dengan sedikitnya orang yang mampu memahamkan pengguna akhir tersebut (memberikan jalur yang ringkas tapi tepat cara memahaminya). Kekacauan sempurna dengan karakteristik orang Indonesia yang tidak suka membaca.

2. Budaya

Pengguna Linux pemula di Indonesia semuanya adalah pengguna Windows. Dari segi budaya, platform Windows itu terlalu berbeda dengan platform Unix-like. Otomatis, budaya pengguna Windows akan sangat berlainan dengan pengguna Linux. Hal ini membawa masalah sosial yang selalu terulang kembali, bahwa pengguna Windows itu jika beralih ke Linux pasti tanya “apa pengganti IDM di Linux?” dan semacamnya. Budaya adalah akar inti permasalahan. Andaikata setiap orang dari dua kubu sadar hal ini, migrasi ke Linux (parsial atau total) tidak akan dicap mustahil. Budayalah yang membentuk bahasa, budaya yang melahirkan istilah-istilah, budaya yang melahirkan sistem manajemen paket. Jika budaya di balik bahasa itu tidak dipahami, maka bahasa itu dipakai tanpa jiwa. Hasilnya kosong dan putus asa. Ini terjadi berulang kali. Misalnya orang instal Linux sendiri tanpa ilmu, hard disk 500 GB terformat, putus asa. Dia tidak paham budaya instalasi OS, baik dari madzhab DOS (Windows) atau Unix-like (Linux). Dia tidak sadar kalau instalasi OS bukanlah budaya keseharian dia sendiri. Orang sering menyebut istilah “mindset”, sayang mereka tidak sadar kalau mindset asalnya dari budaya. Maka dari itu, kalibrasi budaya mutlak diperlukan setiap orang yang memulai Linux. Di sini tersirat betapa dibutuhkannya seorang “penerjemah” yang andal.

3. Bahasa

Karena budaya sudah beda, maka otomatis bahasa ikut beda. Pertama, dunia Linux punya prinsip tidak menyembunyikan kerumitan. Maka istilah-istilah yang standar nan normal bagi pengguna Windows pemula seakan-akan terlihat baru dan aneh. Misalnya i386. Itu istilah universal di seantero ilmu komputer. Namun mereka yang baru saja kenal Linux, menganggap Linux terlalu jahat karena menayangkan istilah-istilah itu, menganggapnya terlalu asing, karena sejak awal kenal komputer tidak pernah menginstal OS sendiri. Kontras dengan setiap pemula Linux = pengguna Windows, umumnya pengguna Windows tidak menginstal OS-nya sendiri. Kedua, bahasa yang memang rumit juga mengganjal pengguna akhir. Bootstrapping misal, bukan hal yang bisa dipaham dalam semalam. Istilahnya asing, penggunaannya asing pula. Tersirat pula di sini, dibutuhkan sekali “penerjemah” yang andal.

4. Third Party

Kesulitan pengguna akhir biasanya adalah permasalahan third party applications. Selain Microsoft Office, semua program yang diminta orang umumnya third party. Adobe Photoshop itu third party, CorelDRAW, Fruity Loops, AutoCAD, 3D Studio Max, driver mayoritas hardware, semua itu third party. IDM itu juga third party, jangan lupa. Mereka semua bukan dibikin oleh Microsoft. Linux punya prinsip suka membuat sendiri. Driver-driver itu banyak yang dibuat sendiri oleh developer Linux, tidak disediakan oleh third party (dalam artian vendor hardware aslinya). Satu, bisa jadi karena third party tidak peduli. Dua, bisa jadi disediakan tapi ada yang kurang. Ini yang tidak dipaham orang awam. Bagi pengguna macam saya, sejak awal hal ini sudah dimaklumi sehingga kekurangan-kekurangan bisa diterima.

5. Hardware

Terpisah dari yang telah disebut, hardware harus ditulis sebagai masalah tersendiri. Kenyataannya, mayoritas vendor hardware itu membuat hardware-nya untuk Windows. Setidaknya, marketing dilakukan untuk Windows. Lihat NVIDIA dan ATI. Lihat VIA. Lihat boks-boks modem USB. Kesulitan muncul pada pengguna akhir dalam jumlah besar dalam hal kompatibilitas mesinnya dengan Linux. Ada saja masalah, yang paling mudah ditemukan adalah susahnya instalasi modem USB. Kalau memang instalasi modem-modem itu mudah, harusnya tidak perlu ada modemlinux.wordpress.com. Hardware inilah yang menghalangi banyak orang dari Linux. Yang terpenting dari menggunakan OS adalah hardware. Maka utamanya kesulitan, adalah karena hardware pula.

6. Membaca

Kemampuan membaca kebanyakan pemula di Indonesia, sedih saya katakan, rendah. Dokumentasi-dokumentasi Linux sangat lengkap, pun bahasa yang dipakainya sangat bagus. Lihat wiki Arch. Tidak sadar ini kecuali yang telah membacanya. Sayang, mayoritas orang justru lemah di situ. Akibatnya, permasalahan sederhana sekalipun tidak bisa mereka selesaikan padahal di depan matanya sudah ada perpustakaan yang lengkap sekali. Seperti pepatah Arab, bagai keledai mengangkut kitab-kitab. Kitab yang dimiliki banyak, tetapi dia tidak mampu memahami dan mengamalkannya. Andaikan masalah ini bisa dikurangi, kesulitan dalam hal ini akan diminimalisir. Contohnya saya sendiri. Karena punya kemampuan membaca, saya bisa menyelesaikan masalah-masalah saya sendiri. Tidak sampai minta-minta kepada orang lain, sampai derajat yang mentok. Kiranya Linux bukan satu-satunya pihak yang dirugikan, karena masalah ini massal. Masyarakat Indonesia lebih cinta televisi, dikuasai televisi, dididik televisi, dan hanya mau belajar jika sarananya seperti (resembles) televisi. Terlebih lagi, yang muda-muda lebih suka main game (notabene sedikit teks banyak main-mainnya). Masyarakat umumnya tidak terbiasa dengan membaca. Kontras, dunia Unix-like dunia membaca. Dunia Windows sendiri dunia membaca. Ah, mungkin saja mayoritas orang Indonesia itu extrovert.

Isyarat Akan Solusi

Dari mengetahui permasalahan, bisa dicari penyelesaian. Penyelesaian terbaik tetap cara lama yakni “perguruan”. Setiap pengguna Linux pemula memang harus mencari orang yang mampu memahamkan Linux kepadanya. Ini termasuk di dunia nyata maupun dunia maya. Satu pecahan kecil dari hal ini adalah buku-buku cetak yang membahas perkenalan Linux. Harus muncul buku-buku seperti ini di sisi para pemula. Tanpa perguruan, tidak ada proses belajar normal. Setiap pemula harus sadar “kemuridannya” dan mau diajari dengan cara yang mungkin dia tidak suka. Dia yang murid, dia yang datang kepada guru. Tidak dibalik. Tidak ada alasan AON dan semacamnya. Kemudian harus ada juga standardisasi. Saya menilai tepat pilihan untuk memfokuskan pemula kepada salah satu distro membuang yang lain. Memang harus berani seperti itu dan harus tahan cemoohan pihak lain. Dengan itu, distraksi dibuang semua sehingga pemahaman bisa dibentuk sempurna. Memberi distraksi terlalu banyak terkesan main-main dan tidak niat.

Saturday, September 19, 2015 08:05 PM

Memilih Jalan Terbaik

Bismillahirrahmanirrahim.

Banyak orang ingin memasyarakatkan Linux. Ya, jika disebut Linux saja maka makna yang diinginkan adalah platform Linux yang mencakup segala program untuknya, hardware-nya, GNU, free software, open source, dan komunitasnya. Bahkan bisa saja disebut Linux tapi makna yang dimaukan termasuk BSD karena sama-sama free software. Sebagian orang ingin menjadi hulu, orang yang memigrasikan pengguna Windows ke Linux. Caranya adalah dengan bicara langsung satu per satu tatap muka kepada pengguna Windows bajakan. Inti pemikiran cara ini adalah mengumpulkan orang sebanyak-banyaknya ke Linux. Impact cara ini di antaranya nanti ada bantah-bantahan dengan pengguna Windows bahkan mungkin saling hina yang tidak penting. Saling ngotot berhari-hari lamanya dan terakhir orangnya batal menggunakan Linux. Bagi saya, ini bukan cara terbaik. Saya telah lama sekali meninggalkan cara ini. Saya telah skeptis dan saya menutup jalan selama-lamanya untuk jalan itu.

Saya memilih tidak mengumpulkan orang. Jumlah manusia tidak menarik dan saya sengaja tidak mencarinya (bukan tidak sengaja). Saya memilih skala saya sendiri. Skala satu orang, skala terkecil masyarakat. Saya hanya mau peduli pada orang yang sudah niat. Saya memikirkan skala kecil, lingkup orang-orang yang sudah menginstal Linux dari keinginan sendiri. Saya memilih untuk mendidik mereka ini, saya tidak peduli pada mereka yang masih menggunakan Windows bajakan. Cara yang saya tempuh adalah memperkuat yang sudah ada. Saya tidak mencari yang belum ada. Saya tidak memperbesar jumlah. Saya sudah merasa cukup dengan jumlah yang ada, walaupun sedikit bahkan tidak ada sekalipun. Inti cara saya adalah menjaga yang sudah ada. Impact cara saya adalah hemat sehemat-hematnya sehingga saya fokus. Hemat ngomong, hemat waktu, hemat tenaga, hemat uang. Saya cukup menulis atau membuat karya yang itu nyata dan langsung digunakan masyarakat. Ini lebih pasti. Inilah cara orang-orang hilir. Dan bagi saya inilah jalan terbaik.

Friday, September 11, 2015 03:25 AM

Budaya Ctrl+S

Bismillahirrahmanirrahim.

Sebagai seorang pengguna offline, awal dan akhir, saya berbudaya Ctrl+S. Sebagai pengguna peramban web, Ctrl+S budaya saya. Membuat satu folder dengan nama bulan + tahun setiap sebulan sekali adalah budaya Ctrl+S. Budaya ini sudah masuk refleks saya. Budaya ini positif. Menghemat bandwidth dan tenaga fisik sangat banyak. Budaya ini saya ambil dari teman lama saya Sigit. Terima kasih. Semoga ini bermanfaat.

Pertama Kali Mencoba FreeDOS

Bismillahirrahmanirrahim.

 

dos-pertamaku

FreeDOS adalah clone 1:1 MS-DOS. Hampir 100% program MS-DOS berjalan di FreeDOS. Maka mempelajari FreeDOS sama dengan mempelajari MS-DOS. Saya bisa memperoleh basic yang saya tidak peroleh di Linux dengan FreeDOS. Yaitu basic sistem operasi Windows, pola pikir DOS, serta budaya keseluruhan satu madzhab sistem operasi yang bukan Unix bukan BSD bukan Linux. DOS sangat enteng, demikian pula FreeDOS. Mungkin tak berguna bagi pengguna Linux, tapi buat saya begitu berharga.

Ketika –download-only Tidak Berguna di LiveCD Ubuntu

Bismillahirrahmanirrahim.

Opsi apt-get yang disebut –download-only atau -d tidak berhasil di live session jika dilakukan pada paket + dependensi yang sudah ada dalam tubuh Ubuntu LiveCD (misalnya wvdial). Tidak ada paket masuk ke folder apt cache. Mungkin karena paket + dependensi wvdial tidak lagi diunduh (retrieved) dari internet tapi dari dalam tubuhnya sendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Majalah Linux Digital Indonesia?

Bismillahirrahmanirrahim.

Mungkinkah majalah Linux digital Indonesia (MLDI) terwujud? Sebuah majalah yang memperkenalkan komputer kepada orang awam. Tentu dengan madzhab Linux. Dia gratis, kecil, tapi berotot. Dia hidup dari iklan. Mungkinkah? Saya bereksperimen dengan Rootmagz. Majalah ini tidak akan besar. Tidak akan menjadi MLDI sesungguhnya. Namun semoga bermanfaat di area extrovert (setelah dicetak sendiri-sendiri) dan area introvert (melalui internet). Saya benar-benar ingin majalah ini menyampaikan telak pengetahuan software legal dengan caranya sendiri. Seperti saya biasanya. With my own will, with my own way. Semoga tulisan ini bermanfaat.